Tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi sering mengagetkan banyak orang. Walaupun lembaga ini masih terbilang baru, yaitu 16 tahun. , banyak putusannya yang dapat dikatakan sangat berani dan menimbulkan perdebatan bagi kalangan ahli hukum serta para politisi. Beberapa putusannya yang menimbulkan perdebatan pro dan kontra antara lain mengenai dihapuskannya larangan hak pilih bagi eks anggota Gerakan 30 S/PKI [1] menyatakan tidak mempnuanyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan undang-undang ketenagalistrikan [2], menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat ketentuan pasal 50 UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi[3] (MK yang berarti memperluas kewenangan MK sendiri.
Pembentukan mahkamah konstitusi sebagai lembaga yang tersendiri karena kebutuhan adanya suatu pengadilan yang secara khusus melakukan pengujian terhadap produk undang-undang (dalam istilah Hans Kelsen, statute and customary law) yang bertentangan dengan konstitusi (undang-undang dasar). Ide ini, bermula dari Prof. Hans Kelsen, guru besar kenamaan dari Universitas Wina (Vienna) yang mengusulkan dibentuknya suatu lembaga yang diberi nama ‘Verfassungsgerichtshoft’ atau Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court). Gagasan Kelsen ini, kemudian diterima dengan bulat dan diadopsikan ke dalam naskah Undang-undang Dasar Tahun 1920 yang disahkan dalam Konvensi Konstitusi pada tanggal 1 Oktober 1920 sebagai Konstitusi Federal Austria. [4] Menurut Hans Kelsen [5] kemungkinan muncul persoalan konflik antara norma yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah, bukan saja berkaitan antara undang-undang (statute) dan putusan pengadilan, tetapi juga berkaitan dengan hubungan antara konstitusi dan undang-undang. Ini adalah problem inkonstitusionalitas dari undang-undang. Suatu undang-undang (statute) hanya berlaku dan dapat diberlakukan jika sesuai dengan konstitusi, dan tidak berlaku jika bertentangan dengan konstitusi. Suatu undang-undang hanya sah jika dibuat berdasarkan ketentuan-ketentuan konstitusi. Karena itu diperlukan suatu badan atau pengadilan yang secara khusus untuk menyatakan inkonstitusionalitas dari suatu undang-undang yang sedang berlaku.
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga kekuasaan kehakiman yang baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dari negara-negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-78 yang mempunyai lembaga sejenis. Kedudukan MK diatur dalam Pasal 24C Amendemen UUD 1945 dan lebih lanjut diatur dengan UU No. 24 tahun 2004.
Hakim MK terdiri atas sembilan orang yang terdiri dari ketua, wakil ketua, dan anggota. Sesuai Undang- Undang Dasar 1945 yang selanjutnya disahkan menurut Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003.
Wewenangan Mahkamah Konstitusi telah diatur dalam pasal 24 ayat (1) dan (2) UUD 1945. Mahkamah Konstitusi berwenang untuk melakukan peradilan pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
1. Menguji UU Terhadap UUD 1945.
Kewenangan yang paling penting dari keempat kewenangan yang harus dilaksanakan oleh MK (Mahkamah Konstitusi) menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah kewenangan untuk melakukan pengujian konstitusi undang-undang. maka dari keempat kewenangan tersebut, yang dapat dikatakan paling banyak mendapat sorotan di dunia ilmu pengetahuan adalah pengujian atas konstitusi Undang-undang. MK (Mahkamah Konstitusi) harus bisa membangun karakter bangsa diera globalisasi sekarang ini, yang mana hukum peradilan harus tegak setegak-tegaknya dengan begitu nilai-nilai pendidikan karakter bangsa dalam segi hukum akan terbentuk.
Pengujian terhadap UU dilaksanakan melalui landasan UUD 1945. Pengujian dilakukan dengan 2 cara yaitu materil atau formil. Pengujian materil berkenaan dengan pengujian atas UU, sehingga jelas bagian mana dari UU yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945. Yang diuji dapat terdiri dari 1 bab, 1 pasal, 1 kalimat ataupun 1 kata dalam UU yang bersangkutan. kemudian pengujian formil adalah pengujian berkenaan dengan proses pembentukan UU tersebut menjadi UU apakah telah mengikuti prosedur yang berlaku dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 yang dimana semua hal itu sudah dilakukan berdasarkan struktur lembaga negara sebelum dan sesudah amandemen.
2. Memutuskan Sengketa Pendapat
Mengenai hal sengketa dalam segala hal kewenangan lembaga konstitusi negara adalah adanya perbedaan pendapat atau pemikiran yang disertai persengketaan lainnya terhadap kewenangan setiap lembaga negara itu. Hal ini bisa terjadi mengingat sistem hubungan antara satu lembaga dengan lembaga lainnya menganut prinsip check and balances, yang berarti sederajat tetapi saling mengendalikan satu dengan yang lainnya. Sebagai akibat dari hubungan tersebut, dalam melaksanakan kewenangan masing-masing lembaga timbul kemungkinan terjadinya perselisihan. Mahkamah Konstitusi dalam perkara ini, akan menjadi hakim yang akan mengadili dengan seadil-adilnya. Dan kewenangan ini juga telah diatur dalam Pasal 61 -67 UU No. 24 Tahun 2003.
3. Memutuskan Pembubaran Partai Politik
Kebebasan Partai politik dalam berpartai adalah cerminan kebebasan manfaat organisasi dalam masyarakat dan bernegara untuk berserikat yang dijamin dalam Pasal 28 ayat (3) UUD 1945. Oleh sebab itu, setiap orang sesuai dengan ketentuan UU bebas mendirikan dan ikut serta dalam kegiatan parpol. Karena itu, pembubaran parpol bukan oleh anggota partai politik yang bersangkutan merupakan tindakan yang bertentangan dengan konstitusi atau inkonstitusional.
Untuk adanya jaminan perlindungan terhadap prinsip kebebasan berserikat itulah maka disediakan cara pembubaran suatu partai politik yang diwajibkan untuk ditempuh melalui prosedur dari konstitusi yang berlaku. Yang diberi hak “berdiri” untuk menjadi pemohon dalam suatu perkara pembubaran partai politik adalah Pemerintah, bukan orang perorang atau sekelompok orang. Yang berwenang memutuskan benar tidaknya hal-hal yang dijadikan alasan tuntutan pembubaran partai politik adalah Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian, sebuah prinsip dari kemerdekaan untuk berserikat yang telah dikokohkan dalam UUD 1945 tidak dilanggar oleh para penguasa politik yang pada pokoknya juga adalah orang dari partai politik lain yang memenangkan pemilihan umum. Dengan cara ini, MK (Mahkamah Konstitusi) harus adil untuk mengatasi bahaya akibat jika tidak ada keadilan dalam masyarakat yang dimana partai politik biasanya mengusung aspirasi dari masyarakat, MK juga harus dapat pula menghindari timbulnya gejala dimana penguasa politik yang memenangkan pemilihan umum menghanguskan partai politik yang kalah pemilihan umum dalam rangka persaingan yang tidak sehat dan tidak fairplay menjelang pemilihan umum tahap berikutnya.
4. Memutuskan Perselisihan Tentang Hasil Pemilu
Berdasarkan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, pemilihan umum memiliki tujuan untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peserta Pemilihan Umum itu ada tiga, yaitu pertama, pasangan calon presiden/wakil presiden, kedua, partai politik peserta pemilihan umum anggota DPR dan DPRD, dan ketiga, (perorangan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Sedangkan penyelenggara pemilihan umum adalah Komisi Pemilihan Umum yang diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (PANWASLU) sebagaimana yang telah berlaku dalam sistem pemilu di indonesia saat ini. Apabila timbul perselisihan pendapat antara peserta pemilihan umum dengan penyelenggara pemilihan umum, dan perselisihan itu tidak dapat diselesaikan sendiri oleh para pihak, maka hal itu dapat diselesaikan melalui proses peradilan di Mahkamah Konstitusi.
Yang menjadi permasalahan yang memang harus segera diselesaikan di Mahkamah Konstitusi adalah soal perselisihan perhitungan pendapatan suara pemilihan umum yang telah ditetapkan dan diumumkan secara nasional oleh KPU melalui struktur organisasi pemerintahan dikota,kabupaten maupun struktur organisasi desa yang menjadi panitia pemilu, dan selisih perolehan suara dimaksud berpengaruh terhadap kursi yang akan diperebutkan. Jika terbukti bahwa selisih peroleh suara itu tidak mempengaruhi peroleh kursi yang diperebutkan, maka perkara yang dimohonkan akan dinyatakan
5. Memutuskan Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan Wakil Presiden
Memutuskan segala pemasalahan sengketa penuntutan pertanggung jawaban presiden atau wapres dalam istilah resmi UUD 1945 diberikan sebagai kewajiban Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan pendapat DPR bahwa Presiden maupun Wapres telah melakukan pelanggaran hukum negara yaitu pengkhianatan terhadap negara, melakukan tindakan korupsi yang memiliki dampak korupsi bagi negara dan masyarakat, dan lain sebagainya. Atau perbuatan tercela yang menyebabkan presiden atau Wapres tidak lagi memenuhi syarat menjadi Presiden dan Wakil presiden menurut UUD dan juga meninggalkan tugas,fungsi, dan wewenang presiden dan wakil presiden. Maka Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban untuk memberikan putusan atas opini atau pendapat DPR bahwa presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan perkara pelanggaran hukum seperti, penghianatan terhadap negara sendiri, korupsi, penyuapan, tindakan pidana lainnya dan juga perbuatan tercela yang menyebabkan presiden dan wakil presiden tidak lagi memenuhi persyaratan seperti dalam UUD 1945.
Daftar Pustaka
1. Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Translated by Anders Wedberg, New York: Russell & Russell, 1961
2. Jimly Asshiddiqy, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Cetakan Pertama, Jakarta: Konsatitusi Press, 2005
3. Putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003, Pengujian UU Na. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, Berita Negara RI No.102 Tahun 2004 tanggal 21 Desember 2004.
Footnote
[1] Putusan Perkara No. 011-017/PUU-I/2003, tanggal 24 Pebruari 2004, yaitu perkara pengujian UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu.
[2] Putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003, Pengujian UU Na. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, Berita Negara RI No.102 Tahun 2004 tanggal 21 Desember 2004.
[3] Putusan Perkara Pengujian UU No. 24/2004 tentang Mahkamah Konstitusi, yang diputus tanggal 12 April 2005.
[4] Lihat Jimly Asshiddiqy, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Cetakan Pertama, Jakarta: Konsatitusi Press, 2005, hlm. 33
[5] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Translated by Anders Wedberg, New York: Russell & Russell, 1961, hlm. 155